Episode ~ 5

Thursday, March 22, 2007

“Bukk!!” suar pintu kamar dibanting.

“Sial!!” Adhit berteriak keras. “Hari gini masih pakai jodoh – jodohan. Emangnya Siti Nurbaya? Ternyata ini yang dibawa Oma ke Bangka.” Adhit menghempaskan badannya ke kasur.

“Kesel banget. Stress...gue nggak bakal mau. Mo secantik apa kek, gue nggak bakal mau dijodohin. Enak aja. Ih!” Adhit semakin geram saja.

“Drak!” tangannya memukul meja belajar. Tapi, “Prang...” sebuah benda jatuh dari meja belajar yang goyang tersebut.

Adhit menengok ke lantai.

“Oh God! Adel. Kaset buat Adel,” buru – buru Adhit memungut kaset tersebut.

Tangannya kemudian mengambil kaset, dan memutarnya di compo. Alunan harmonisasi suara acapella mengalir membahana di sudut kamar. Adhit merebahkan tubuhnya pelan kali ini.

Dengarkanlah senandung hujan

Hujan yang kehilangan tempat berlabuh

Kini kita saksikan

Semua bencana yang terjadi

Cobalah pikirkan itu

Hanya tangan kita yang melakukannya

Lembutnya suara nasyid yang diputar Adhit terasa begitu menentramkan hati sehingga pelan – pelan Adhit merasa tenang, kemudian akhirnya terlelap dalam bunga tidur yang indah.

* * *

Malu aku pada Tuhanku

Ketika nikmat yang diberi tiada kunikmati

Ketika jalan yang kutempuh slama ini

Sungguh larut tiada bertepi

Sayup – sayup suara nasyid yang masih mengalun merdu di kamar membangunkan Adhit.

“Yah, udah jam lima. Gue kan punya janji ma Tito nih,” buru – buru Adhit bangkit menuju kamar mandi.

Lima menit kemudian adhit keluar dari kamar mandi, membuka lemari dan mengaduk – aduk baju yang ada di dalamnya.

“Ketemu!” teriak Adhit sambil membentangkan sepotong baju koko berwarna krem yang udah tampak lusuh. Satu – satunya baju koko yang dimiliki Adhit. Memang, setiap sholat Lebaran Adhit lebih suka mengenakan kemeja bermotif ketimbang baju koko. Kampungan! Pendapatnya.

“Jelek banget sih. Gue emang dah lama nggak pake nih baju. Masih muat nggak ya?” Adhit keluar kamar kemudian menuju dapur.

“Bi, tolong setrikain dong,” pinta Adhit kepada Bi Iyem, pembantu yang sudah 10 tahun kerja di rumah Adhit.

“Ha!!” Bi Iyem kaget bukan kepalang. “Mau disetrika gimana?” Bi Iyem jadi bingung melihat Koko lusuh yang mungkin saja kalau dipakai Adhit bakal nggak muat lagi.

“Lho, Bibi gimana sih. Ya disetrika pake setrika, emangnya kalo pake panci bisa?”

“Lha, sekarang panci bisa dipake buat setrika, Mas?” Bi Iyem pura – pura bego.

Adhit Cuma geleng – geleng kepala.

“Mas Adhit! Mending beli baru aja deh,” saran Bi Iyem. “Kayaknya nggak muat lagi buat Mas Adhit.”

“Adhit perlunya sekarang, bi!”

“Emang mau kemana? Biasanya juga Mas Adhit pake Kemeja khan.”

“Ih... masa’ mo ke pengajian pake kemeja. Nggak etis lah, Bi.”

“Trus gimana donk. Emang mas Adhit mau peke baju lusuh gini?”

“Kenapa sayang?” Tiba – tiba Oma muncul. “Nih, oma punya koko,” tawar Oma.

“Horray!! Oma kayak malaikat aja, dateng nyelametin Adhit.”

“Oleh – oleh dari Astrie untuk Adhit,” sela omanya.

Adhit termenung sejenak. Astrie, cewek yang bakal dijodohin Oma buat Adhit. Cewek yang selama ini mengirim pesan – pesan singkat ke handphonenya.

“Kok diam?” tanya Omanya.

“Nggak jadi deh.” Adhit mengembalikan baju koko yang dipegangnya tadi ke Oma.

“Up to you, Boy! Mo peke pa nggak?” Oma sok ngancam.

Adhit berpikir, memutar otaknya hingga akhirnya pusing. Menelpon Tito untuk bilang nggak bisa datang nggak mungkin, karena dia udah janji. Apalagi kalo bilang nggak bisa datang hanya karena nggak punya baju koko. Mau ditaruh dimana martabatnya sebagai cowok cool dan tajir.

Detik – detik terus berlalu. Adhit tetap memikirkan cara bagaimana ia bisa ikut ke pengajian bareng Tito. Dia nggak mau, hanya gara – gara nggak punya baju koko, rencana dan strateginya untuk menarik simpati Tito padanya jadi hilang atau bahkan berganti kebencian.

Setelah berpikir matang dan nggak mau terlalu lama untuk mikir, Adhit nyerah juga untuk menerima Baju Koko oleh – olehnya Astrie yang dibawa Oma.

“Oma, Kokonya buat Adhit kan?” Tanya Adhit pada Oma.

“Of course, Boy. Jadi nih?” Oma balik bertanya.

Adhit mengangguk pelan.

“Terpaksa!” teriak Adhit dalam hati.

Setelah mengambil koko dari tangan Oma, Adhit bergegas kembali ke kamar untuk ganti baju.

Sepuluh menit berlalu, Adhit keluar kamar menuju garasi mobil, mengambil motor, dan Dermmm... dengan sepeda motornya Adhit meninggalkan rumah.

* * *

“Assalamu’alaikum,” sapa Adhit, setelah memarkirkan sepeda motornya di halaman rumah Tito.

“Wa’alaikum salam,” Tito yang sudah rapi keluar menyambut Adhit.

“Gimana To? Udah siap berangkat? Gue nggak telat kan?”

“Telat? Lumayan sih. Tapi nggak pa – pa. Acaranya dimulai ba’da maghrib kok.”

“So, berangkat sekarang?”

* * *

Suasana pengajian atau yang disebut Tito halaqoh, nggak membuat Adhit jenuh, walaupun awalnya Adhit merasa cuma ikut – ikutan saja, dan lumayan bete di awal pertemuan karena disuruh baca Al-Qur’an.

Dengan tertatih – tatih, Adhit selesai membaca 1 ayat, surah At - Taubah ayat 24.

Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Sempet minder di awal, karena memang Adhit udah lama banget nggak menyentuh kitab Sucinya itu. Terakhir, ramadhan tahun kemaren. Itu aja, karena ada tadarusan yang diwajibkan di sekolah. Tapi, kekhawatiran kalo Tito dan teman – temannya bahkan menertawakan bacaannya yang jelek, nggak ada sama sekali. Bahkan, Adhit dibimbing untuk lebih fasih dan lancar.

Pembahasan tentang cinta, yang lebih interaktif dan menarik seperti yang disampaikan Mas Hudha, murobbinya Tito dan temen – temen, sekaligus sekarang menjadi murobbi Adhit juga, membuat Adhit merasa perlu lebih jauh mengenal Islam.

Mas Hudha juga menyampaikan bahasan tentang pergaulan antara cowok dan cewek dalam islam. Adhit yang tadinya udah mulai mengantuk ba’da Isya, melek lagi ketika dibuka sesi pertanyaan dan Adhit bertanya tentang pacaran dalam islam.

Dalam perjalanan pulang Adhit masih berbincang tentang topik yang dibahas oleh Mas Hudha dengan Tito.

“To, lu sering ikutan pengajian kayak gitu?” tanya Adhit.

“Satu pekan sekali, setiap jum’at malam, kadang juga sabtu malam.”

“Nggak bosen?” tanya Adhit lagi.

“Bosen? Alhamdulillah sih nggak. Selain materi yang disampaikan ngepas banget buat kita yang masih remaja, ane ngerasa kalo ane nggak boleh nyia – nyiain waktu muda ane dengan hal – hal yang nggak berguna. Lebih, baik ane mendalami agama kita, hitung – hitung penanaman modal akherat.”

Adhit terdiam, dan merenungi apa yang baru disampaikan Tito barusan.

“Kok diam?” sekarang Tito yang balik nanya. “Pekan depan ada halaqoh lagi. Tapi, di rumah ane. Adhit ikut kan?”

“Em..em..iya deh,” Adhit sedikit ragu. “Nggak janji lho, To,” sambungnya dalam hati.


© By Saidurrohman 2006


0 comments: