Episode~8

Saturday, January 19, 2008

Allah SWT menganugerahi manusia dengan rasa cinta sebagai hikmah dan ujian. Naluri untuk mencintai akan selalu tumbuh dalam diri seseorang. Nantinya seperti apa, bergantung pada apa yang kita lakukan ketika menyikapi rasa cinta itu. Membawanya ke dunia nyata, memupuknya dengan ibadah, menyiramnya dengan rasa takwa, hingga berbunga dan mekar seindah bunga mawar, atau membawanya ke dunia semu yang bias, tanpa jelas apa yang akan kita tuai nantinya.

Adhit menutup catatan harian Tito yang kebetulan tampil di layar monitor komputer. Ketika Adhit datang, Tito lupa menutup diarynya hingga terbaca oleh Adhit.

Kre..k. Tiba – tiba pintu bergeser.

“Akhi, ntar sore jadi ke rumahnya Ihsan kan?” Tito masuk membawa talenan dengan dua piring kecil Blackforest dan dua coklat panas di atasnya tanpa sadar kalo Adhit baru saja membaca diarynya.

“Eh, eh, iya.” Buru – buru Adhit menutup aplikasi diarynya Tito.

“Napa akh?”

“Nggak. Oya, lu dah beli kado belum?” tanya Adhit mengalihkan perhatian.

“Belum sih, cuman kemaren ane dah beli buku ini,” Tito mengeluarkan sebuah buku bercover biru dari dalam tasnya.

“Diary pengantin?” Adhit mendesis.

Adhit diam sejenak.

“To, kok Ihsan mau ya nikah di usia muda? Kan banyak resikonya. Apalagi belum kenal lama sama calon istrinya,” tanya Adhit.

Tito menghela nafas.

“Akhi, nikah itu sunnah rasul sekaligus juga bernilai ibadah. Kalo udah mampu, kenapa harus ditunda – tunda? Dari pada ntar zina.”

“Ehm. Iya juga sih. Tapi, Ihsan kan baru semester dua. Calonnya aja masih SMA. Nggak takut fitnah?”

“Justru hal ini untuk menghindari fitnah.”

“Bukan. Maksud gue, ntar banyak yang beranggapan macam – macam. Sekarang kan banyak yang nikah dini gara – gara MBA alias kecolongan duluan. Kalo ada yang kayak gitu gimana?”

“Yah. Terserah pandangan orangnya. Berhusnuzhon khan lebih baek. Kalo emang ada yang seperti itu, mudah – mudah Allah membuka pintu hati mereka.”

Adhit diam merenungkan kata – kata sobatnya itu.

“Ok, dah siap belum. Kita mau kemana cari kadonya?” tanya Tito kemudian.

“Ke Lie Cheng aja?” jawab Adhit sekenanya.

“Hah?!” Tito bingung.

“Ha..ha..ha..,” Adhit tertawa lebar. “Becanda, To. Tapi nggak masalah juga kan ngasih kado obat kuat buat pengantin baru.”

“Astaghfirullah. Ada – ada aja.” Tito mesem – mesem.

Adhit dan Tito sudah tiba di butik Mas Eddy, langganan ibunya Adhit, tak jauh dari BTC, mal terbesar di Pangkalpinang. Adhit memilih satu setel baju koko atau lebih ngetop dengan nama Teluk Belango. Sebuah sajadah, dan sandal seukuran kakinya, karena Adhit yakin kalo ukuran kakinya dan kaki Ihsan tak jauh beda.

“Buat siapa, Dhit?” tanya mas Eddy melihat Adhit yang jarang sekali belanja perlengkapan muslim karena hapal betul seleranya.

“Kado buat temen, Mas. Nikah hari ini.”

“O..kirain buat Adhit sendiri. Kan, jarang banget Adhit belanja baju koko. Bahkan menurut mas malah nggak pernah.”

“He..he...he.. Mas Eddy tau aja.” Adhit tersenyum lebar. “Sekalian di bungkusin deh mas.

Setelah membayar dengan kartu debit Bank Sumselnya, Adhit dan Tito meninggalkan butik mas Eddy menuju kediaman orang tuanya Ayu, calon mertua Ihsan.

Sekitar sepuluh menit, akhirnya mereka berdua tiba di Masjid An’Nur, tempat akad nikah Ihsan dan Ayu dilaksanakan, setelah ditelepon oleh Fariz bahwa rombongan calon pengantin dah menuju tempat akad.

Suasana disana lumayan ramai. Keluarga kedua calon mempelai, teman – teman Ihsan satu fakultas, teman – teman Ayu yang lumayan bikin Fais dan Adhit lupa dengan komitmen Ghadul Basharnya, juga Mas Hudha murobbi Adhit cs bersama istrinya.

“To, itu istrinya Mas Hudha?” tanya Adhit sambil menunjuk ke arah wanita yang sedang digandeng murobbinya itu.

“Ya,” jawab Tito pendek.

“Wah, cantik banget. Pengen deh punya istri kayak gitu. Adel mau nggak ya.”

“Mulai ngelantur deh.”

Akad nikah berlangsung khidmat. Ayu menangis bahagia, begitu juga dengan teman – teman yang hadir. Banyak yang meneteskan air mata menahan haru ketika Ayu bersimpuh di kaki kedua orang tuanya, diikuti Ihsan yang disambut dengan pelukan dan tatapan ayah mertuanya seolah meminta Ihsan untuk membimbing putrinya menjadi istri yang shalehah.

Berganti Ihsan yang bersimpuh di kaki Ibunya. Air mata wanita tua itu tak terbendung melihat anak laki – lakinya semata wayang akan menapaki jalan baru, hidup bersama pendampingnya yang Insya Allah akan menjadi bidadari bagi anaknya di dunia dan di surga nanti. Makin haru ketika Ihsan memeluk Ibunda tercinta, memeluk orang tua yang gigih berjuang menghidupi keluarganya setelah suaminya, ayah Ihsan harus meninggal ketika almarhum sersan bintang tiga itu dikirim ke daerah konflik, Poso.

Tiba giliran undangan menyalami kedua mempelai. Tito memeluk erat sahabat yang telah membimbingnya ke jalan terang, mengajaknya untuk mengenal lebih dekat apa itu Islam. Adhit, Fais, Fariz, Koko, dan Mas Hudah tak lupa mengucapkan selamat dan berdoa untuk Ihsan dan Ayu agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

* * *

Adhit merebahkan tabuhnya di atas kasur. Menyalakan handphone yang dimatikannya sejak tiba di masjid An-Nur tadi sore.

Tiit..tiit..tii.. Satu buah pesam masuk ke hapenya.

Ass.

Adhit, ni astrie. Afwan ganggu trs ya.

Antrie cm pngn knln koq.

Oea, pkn dpn Oma pndh k Rmh bru.

Seklian ulang tahun, mo sykran ktnya.

Adhit dtng ya...

Episode~7

Assalamu’alaikum Adhit.

Dah Mandi blom?

Kok sms Trie g prnh dibls?

Satu pesan masuk sore ini di ponsel Adhit. Geram, kesal, sekaligus juga penasaran berkecamuk di dada Adhit. Karena nggak sabar lagi, akhirnya Adhit menelepon nomor yang sering menerornya itu.

Tut..tut..tut... Nggak diangkat sama sekali. Hingga tiga kali Adhit mencoba menghubungi nomor tersebut, tak pernah sekalipun disambut oleh penerimanya.

Beberapa menit kemudian malah satu sms masuk di ponsel Adhit.

Sorry, g ush telpon blk.

Aq cm pengen Adhit bls smsq.

Oea, Ktx Oma mo blk lsa ya?

Tiga baris pesan yang membuat hati Adhit berbinar – binar. Bukan karena cewek seberang yang menurut Adhit keganjenan, tapi pesan di baris yang terakhir yang menanyakan kalo Oma bakal pulang lusa nanti. Yah, walaupun baru sebatas pertanyaan, tapi Adhit merasakan lapang yang sebenar – benarnya.

“Yes!”

* * *

“Oma, mo balik ke Jakarta lusa ya?” tanya Adhit pas makan malam keluarga.

“Kenapa? Pengen ikutan?”

“Ih...amit- amit deh,” seru Adhit dalam hati sambil senyum manyun.

“Oya Dhit. Tadi Tito telepon, katanya jangan lupa besok sekitar jam empat ditunggu di rumahnya. Katanya mo pengajian. Bener?” tanya Mama.

Adhit mengangguk kencang karena emang nggak bisa ngomong. Soalnya, mulut Adhit masih penuh dengan nasi.

“Alhamdulillah. Cucu oma ikutan pengajian. Padahal, dulu paling alergi sama semua yang religi – religi gitu.” Oma bicara dengan nada senang. “Astrie juga suka ikutan pengajian lho, Dhit. Anaknya selain cantik, rajin, ramah sama semua orang, pandai bergaul, Rajin sholat juga. Pokoknya Te-O-Pe banget. Cocok buat Adhit.

Uhuk. Adhit tersedak. Kemudian buru – buru minum segelas air yang berada di hadapannya.

“Iya. Saking padai bergaulnya, ngirim sms nggak henti - hentinya ke Adhit. Emang, Adhit suka apa?” sekali lagi Adhit ngedumel dalem ati. Karena, nggak mungkin buat Adhit buat ngomong begitu sama orang tua terlebih Oma sendiri. Yah, sekesal – kesalnya Adhit sama oma, Adhit sangat menghormati dan tahu tata krama sama orang tua.

“Tuh, kan. Itu tandanya Adhit juga suka sama Astrie,” sambung omanya lagi setelah melihat Adhit tersedak ketika mendengar yang diucapkan sama oma sebelumnya.

“Apa – apaan sih?” akhirnya Adhit buka suara.

* * *

Adhit mengendarai sepeda motornya sambil mendengarkan nasyid dari walkman. Emang rada bahaya, sih. Tapi berhubung sekarang Adhit lagi seneng – senengnya karena hari ini halaqohnya yang kedua, Adhit tidak menghiraukan apa – apa. Hari ini juga, adhit nggak perlu ngejemput Tito. Pagi tadi, Adhit dapet informasi kalo Tito akan berangkat dengan Koko.

Sepuluh menit, Adhit akhirnya tiba di masjid Al – Istighna, tempat pengganti setelah Mas Hudha memberi kabar bahwa beliau nggak bisa ngisi hari ini. Masjid ini sengaja dipilih dengan alasan sebagai tempat dengan akses teradil dari semua mutarobbi, nggak jauh dari rumah semuanya.

Diskusi bertema tawazun dan berpikir besar yang dilakukan oleh Tito dan teman – temannya, alot juga. Banyak perdebatan, dan pendapat – pendapat tentang hubungan antara berpikir besar dan konsep keseimbangan dalam hidup terutama ketika menentukan serta menetapkan suatu pilihan.

Tak lupa pula penyampaian permasalahan pribadi untuk dibahas bersama – sama.

“Guyz, gue lagi punya masalah besar neh. Sorry, To. Kemaren, gue belum sempet cerita ke lu. Gue pengen semuanya tau, dan ngasih pendapatnya ke gue. Kan, kalo bareng – bareng, masalahnya bisa cepet selesai,” Adhit membuka qhodoya kali ini.

“Tafadhol Akhi,” Ihsan sang mas’ul mempersilahkan.

“Gue dijodohin...”

Semua terdiam.

“Lho, kok malah diam sih? Gue kan pengen lu semua ngasih masukan ke gue. Menurut lu gimana Is?” tanya Adhit pada Fais.

“Ehm. Gimana ya? Oya, dijodohin buat nikah, gitu?” Fais malah balik nanya.

“Ya iyalah. Emang ada orang yang dijodohin buat temenan?” ledek Fariz.

“Sapa tau?” Fais ngeles.

“Udah, udah. Kayaknya nggak penting banget buat dibahas. Ini masalah serius akhi,” akhirnya Koko yang pendiam buka suara juga.

“Antum sendiri gimana Dhit?” tanya Tito.

“Gue?” Adhit sedikit ragu. “Ya, gue sendiri sih amat belom siap buat tunangan. Apalagi nikah. Mo dikasih makan apa anak istri gue. Gue juga nggak kepikiran buat nikah di usia muda gini. Lagian juga, gue belom kenal sama tuh cewek.”

“Eh, ngomong – ngomong tuh cewek cantik nggak?” tanya Fais.

“Fais! Udah deh. Nggak penting banget lagi!,” Fariz melototi Fais yang emang rada jayus.

“Gue nggak tau tampangnya kayak gimana,” Adhit nanggepin juga. “Tapi, menurut gue tuh cewek keganjenan. Sering banget kirim sms ke gue. Tapi, menurut oma, anaknya tajir, cantik, rajin juga, dan ikutan pengajian kayak gini.”

“Wah wah wah. Boleh banget tuh Dhit,” tiba – tiba saja Fais motong pembicaraan lagi.

Semua mata tertuju pada Fais. Terlebih matanya Fariz yang bener – bener mirip elang yang mo mangsa anak ayam.

“Iya, iya. Ane kan cuma becanda,” Fais tertunduk diam akhirnya.

“Antum bilang dia ikut pengajian seperti ini juga?” tanya Ihsan sedikit heran.

Adhit mengangguk mengiyakan.

“Tapi kalo suka ngirim sms nggak perlu ke Adhit, patut dipertanyakan tuh, tarbiyahnya dia,” sambung Tito.

“Gue juga nggak ngerti ngapain tuh cewek ngabis – ngabisin pulsa buat sms. Bikin gue kesel juga sih. Capek! Pas gue telepon malah nggak diangkat.”

“Nggak usah ditanggepin, akhi. Tar juga bosen sendiri. Trus, antum dah pernah bales sms sidia?” tanya Fariz.

Adhit menggeleng.

“Tapi, gue pernah nyoba nelpon. Cuman nggak pernah diangkat.”

Qhodoya hari ini cuma ngebahas permasalahan Adhit seorang. Banyak masukan yang didapat dari teman – temannya satu halaqoh. Mulai dari saran untuk nggak usah nanggepin sms – sms yang masuk ke ponsel Adhit, atau bahkan sarannya Koko untuk langsung menghapus sms tersebut tanpa membacanya yang lansung ditentang sama Fais. Sayang, kalo nggak dibaca. Mubazir pulsanya, menurut ikhwan yang suka bercanda ini. Sampe pada saran untuk di audiensikan lagi bersama Mas hudha yang kebetulan udah nikah. So, pasti punya pengalaman lebih soal cinta.

* * *

“Dhit, udah siap belom?” teriak mama dari luar kamar.

“Iya, ma. Bentar lagi. Tunggu dibawah aja. Adhit lagi pake celana nih,” teriak Adhit juga.

“Buruan, sayang. Tiga puluh menit lagi, pesawat yang akan ditumpangi Oma berangkat.”

“Eh, iya.” Seru Adhit. “Ih, gue mesti cepetan. Masa Oma harus ketinggalan pesawat. Bisa berabe,” sambung Adhit dalam hati.

Hari ini Oma akan balik ke Tangerang. Adhit sebenarnya enggan nganterin Oma ke bandara. Malu sama satpamnya. Kan, pas Oma dateng ke Bangka kemaren sempet bikin masalah di bandara.

Kalo mama sama papa nggak maksa buat ikut, Adhit nggak bakal ikut – ikutan sibuk ngurus kepulangan Oma. Nyiapin koper, beliin tiket, sampai nemenin Oma beli baju di Butik Mas Eddy. Yang bikin Adhit kesel juga, ketika Oma minta Adhit beliin baju buat Astrie. Sempet adu mulut juga.

“Ih, kan Adhit belom kenal sama tuh cewek. Ngapain Adhit beli – beliin baju buat dia?” sungut Adhit.

“Lho, kemaren kan Adhit dikasih koko sama Astrie. Moso Adhit nggak ngasih apa – apa buat dia.”

“Adhit nggak minta kok. Dianya aja yang sok kenal gitu. Sok deket juga, pake ngasih koko segala.”

“Udah, le. Apa susahnya. Tinggal beli sepotong baju ini. Kan, nggak nguras tabungan Adhit banyak,” seru mama di telepon.

Oma akhirnya ngeluarin jurus mautnya untuk meminta mama yang ngomong langsung ke Adhit untuk beliin baju buat Astrie. Dengan sedikit terpaksa, akhirnya Adhit mengalah dan membelikan satu buah gamis plus jilbabnya.

Adhit berlari menuruni tangga.

“Ok, ma. Sekarang Adhit siap berangkat. Oma udah di mobil?” tanya Adhit.

“Udah. Yuk buruan masuk ke mobil. Kasian Oma, ntar ketinggalan pesawat.”

Perjalanan menuju bandara terbilang sepi. Oma sedari tadi hanya diam. Mama sibuk ngejawab hanphonenya yang terus berbunyi. Papa juga serius nyetir. Sedangkan Adhit ikutan sibuk ngedengerin nasyid dari MP3 playernya.

Namun, melihat omanya yang hanya diam. Adhit nggak tega juga.

“Oma, jangan sedih gitu dong. Kapan aja bisa ke Bangka lagi,” bujuk Adhit.

“Iya, ma. Kok sedih gitu,” mama jadi ikut – ikutan iba melihat Oma yang sedari tadi cuma diam saja.

“Oma sedih karena harus ninggelin Adhit ya?” tanya Adhit sedikit jayus.

Oma menggeleng.

“Trus napa?” tanya Adhit lagi.

“Oma sedih. Dua minggu oma di Bangka tapi nggak sekalipun oma maen – maen ke pantai. Kan oma, pengen banget,” akhirnya oma buka suara juga.

Gubrak!!

“Kirain apa!” teriak Adhit yang tentu dalam hati lagi.

“Maaf ma. Dewi sering nggak bisa nemenin mama,” mama sedikit menyesal.

“Adhit juga oma. Adhit sering nggak dirumah. Jarang nemenin Oma. Oya, tadi Adhit udah telepon Yudhis supaya ngejemput Oma nanti di Cengkareng.”

Lima belas menit, akhirnya mobil yang dikendarai papa sampai di Bandara Depati Amir Pangkapinang. Perpisahan dengan oma begitu mengharukan buat Adhit. Padahal, sebelumnya Adhit seneng banget Oma pulang hari ini. Tapi sekarang, seperti ada yang mengganjal di hati Adhit.

“Oma, oleh – oleh buat Astrie dibawa khan?” tiba – tiba saja Adhit ngomong yang bikin dia heran juga. Entah karena pengen bikin Oma seneng atau .....

Oma tersenyum sebelum akhirnya keluar dari pintu terminal keberangkatan menuju pesawat Sriwijaya Air yang akan menerbangkannya ke Jakarta.

“Halo,” Adhit menelpon Yudhis.

“Assalamu’alaikum Mas Adhit. Gimana kabarnya?” sahut Yudhis.

“Alaikum salam. Alhamdulillah, baek. Oma udah naek pesawat sekarang. Lu lagi dimana?”

“Yudhis masih di jalan, sekitaran Kalideres. Yah setengah jam lagi Insya Allah nyampe Bandara.”

“Bareng siapa?”

Teh Astrie.”

“Eh, hati – hati lho. Jangan berkhalwat? Cuman bedua?”

“Nggak kok. Ada Ummi dan Abi juga.”

“Ha!! Ubi? Buat apaan?”

“Astagfirullah. Mas Adhit gimana? Ummi sama Abi.”

“O..Om sama Tante. Salam ya, dari Adhit.”

“Insya Allah.”

“Udahan yah. Jangan lupa Oma disamperin di terminal kedatangan. Ntar kayak disini lagi. Salah naek mobil.”

“Mudah – mudahan nggak. Ya udah Mas. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”