Episode ~ 4

Wednesday, March 21, 2007

“Apa? Oma mo dateng?” tanya Adhit pada mamanya.

“Iya, sore ini. Ntar Adhit yang jemput ke Bandara, ya,” Jawab mamanya sambil mengiris bawang merah.

Adhit menarik nafas panjang. Omanya yang nyentrik dan kolot akan datang dan menginap selama satu minggu di rumahnya. Satu hari bersama Oma saja serasa setahun bagi Adhit. Apalagi harus seminggu. Adhit tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya.

“Papa aja ya ma,” rengek Adhit.

“Papa kan sibuk, ada meeting sore ini. Adhit bawa mobil mama aja.”

“Yah....kenapa nggak mama aja sih?”

“Lho, Adhit nggak lihat mama lagi ngapain? Mama kan harus nyiapain penyambutan buat Oma.”

“Ih, pake acara di sambut – sambut segala.”

* * *

Assalamu’alaikum.

Kok blm dibls jg? Mrh ya?

Aq g b’mksd ngrjain kmu. Aq cm pngn knln ma kmu.

Aq dah ksh tau nmq, nm kmu sp? Plz dnx....

Rasa penasaran Adhit akhirnya mencapai puncak. Dipencetnya tombol hape, menghubungi nomor yang selama ini mengganggunya. Lagu Alhamdulillahnya Opick terdengar sebagai nada sambung, bukan tut..tut seperti yang biasa terdengar.

Klik sambungan diangkat.

“Hallo,” sapa Adhit.

Tidak ada yang menjawab. Yang terdengar hanya suara gemericik air.

“Hallo! Siapa sih? Ganggu banget. Kalo mau kenalan jawab donk, dan ngaku yang bener. Lu tuh sapa?” Teriak Adhit.

Sekali lagi tidak ada yang menjawab.

“Sial!” Adhit menutup telepon.

Tit...tit....hape Adhit berbunyi.

“Hallo!” teriak Adhit keras.

Astaghfirullah. Nopo to le?” terdengar suara lembut di hape.

“Eh, sorry Oma. Adhit kirain orang yang selalu ngerjain Adhit. Oma lagi dimana sekarang?”

“Oma masih di Jakarta, kira – kira satu jam lagi nyampe Pangkalpinang. Adhit gimana kabarnya?”

“Baik, Oma. Ohya, yang nganter Oma ke bandara siapa?”

“Yudhis. Mau ngomong? Nih.”

“Hallo, Yud.”

“Iya, Mas Adhit. Gimana kabarnya?”

“Nggak enak banget.”

“Nggak...”

“Shh...t. ntar Oma denger. Agak jauh dikit dari Oma, OK,” pinta Adhit.

“Yud, Oma mo ngapain ke Pangkalpinang?” tanya Adhit kemudian setelah memastikan Yudhis jauh dari Omanya.

“Kurang tau sih. Tapi, kayaknya ada hubungannya sama mas Adhit.”

“Sama gue?” Adhit heran.

“Iya Mas. Yudhis juga ragu – ragu. Yah, mudah – mudahan Oma betah di sana. He...he...he...” Yudhis tertawa.

“Enak aja. Yang bakal nggak betah itu ntar gue. Lu tau sendiri sifat Oma gimana.”

“Oke. Yudhis doain moga Mas Adhit kerasan di rumah.”

“Yud, ntar dulu. Titip ke Oma, Mas Adhit jemput di Bandara pake Avanza, mobilnya mama yang biru silver OK.”

“Insya Allah, Mas. Assalamu’alaikum,”

“Ih, sejak kapan nih anak berubah. Kayak Tito aja,” Adhit berkata dalam hati saat mendengar sepupunya yang berandal mengucapkan salam.

* * *

Hampir setengah jam Adhit menunggu di terminal kedatangan Bandara Depati Amir Pangkalpinang. Meneliti satu persatu orang yang keluar dari sana setelah pesawat Sriwijaya Air mendarat. Namun, dia tidak menemukan Omanya. Dan sekarang tak ada lagi yang turun dari pesawat, pintu kedatangan pun telah tertutup.

Adhit menggerutu dan kesal. Orang yang ditunggu – tunggunya tak kunjung datang. Padahal, demi menjemput Omanya, Adhit membatalkan janjinya pada Tito untuk ikut ke Masjid Al-Furqon.

A....... terdengar suara teriakan dan ribut – ribut dari arah parkir. Adhit bergegas lari menuju tempat parkir karena mendengar teriakan wanita yang mungkin saja suara Omanya.

“Apa-apaan. Ini mobil anak saya. Kenapa bapak masuk sembarangan!” teriak wanita tua pada sorang laki – laki gemuk berkaca mata.

“Ibu yang seenaknya saja masuk mobil orang,” sahut laki – laki tersebut.

Dua orang satpam mencoba melerai adu mulut dua orang itu saat Adhit tiba di kerumunan.

“Oma! Ada apa?” tanya Adhit setelah tahu yang sedang dalam masalah adalah Omanya yang ditunggunya sedari tadi.

“Adhit,” seru Oma seraya memeluk cucunya yang jangkung.

“Ada apa pak?” tanya Adhit pada dua orang satpam yang kebetulan telah berada di situ.

“Oh, neneknya kamu. Bilang sama neneknya yang pikun. Jangan sembarangan masuk kedalam kendaraan orang lain,” laki laki gendut berkata pada Adhit.

“Maaf pak. Tapi mohon penjelasan dulu. Bapak nggak bisa menyalahkan begitu saja. Apalagi sampai menyalahkan saya. Saya kan nggak tahu apa – apa,” Adhit berkata dengan nada meminta maaf.

“Gini nak. ketika bapak ini masuk ke dalam mobilnya, ibu ini berteriak keras. Bapak ini sangat kaget melihat ada sorang ibu di bangku belakang, sedangkan dia tidak mengajak siapa – siapa untuk pulang. Eh, ternyata ibu ini salah masuk mobil,” jelas salah seorang satpam pada Adhit.

“Oma, nggak dikasih tau sama Yudhis kalo Adhit jemput pake Avanza Biru silver?” tanya Adhit.

“Lho, ini kan Avanza biru silver. Wong oma bisa baca, koq,” Oma mencoba membela diri.

“Iya Oma. Ini memang Avanza. Tapi, cokelat silver. Mobil mama yang itu. Nah, itu baru biru silver,” Adhit menunjuk salah satu Mobil di seberang jalan.

“O.........,” seru Omanya.

Semua yang ada disitu tertawa melihat wajah Oma Adhit yang memerah.

“Maaf, ya Pak. Oma saya yang salah,” Adhit mengulurkan tangannya kepada Bapak gendut sang empunya mobil.

“Nggak apa apa. Yang penting, ntar di rumah neneknya di ajari warna ya,” Bapak itu tersenyum lebar.

“Maaf ya pak,” pinta omanya Adhit seraya merunduk.

Adhit mengeluarkan barang – barang bawaan omanya yang sudah terlanjur masuk ke dalam mobil bapak gendut tadi.

* * *

Selama perjalanan pulang oma lebih banyak diam dari pada yang biasanya. Mungkin, setelah kejadian di bandara tadi oma jadi malas untuk berbicara. Adhit sebenarnya lumayan kesal. Bukan karena nggak suka kalau Oma datang. Tapi, nggak suka sikap Omanya yang over protektif sama cucu. Apalagi, kalau melihat Adhit bergaul dengan teman – temannya yang rada berandalan, Oma paling nggak suka.

Handphone oma berbunyi, tangannya kemudian merogoh tas kulit hitam yang didekap Oma sedari tadi.

“Assalamu’alaikum...,” sapa Oma.

“alaikum salam. Oma dah nyampe?” tanya suara di seberang.

“Masih di jalan. Tapi udah di Bangka. Nak Astrie udah selesai kuliah?” tanya Oma.

“Astrie? Perasaan gue kenal sama nama itu,” Adhit mengernyitkan keningnya saat Oma menyebut nama seseorang yang dirasa kenal olehnya.

“Udah, Oma.”

“Astrie jangan lupa makan siang. Ada Yudhis di rumah, kalo perlu apa – apa ngomong aja sama bi Minah, jangan lupa kasih tau Yudhis buat ngunciin semua pintu dan jendela, ya,” pesan Oma panjang lebar.

“Insya Allah, Oma.”

Telepon terputus. Ada sedikit simpul di pikiran Adhit. Ya, Astrie. Adhit merasa sudah akrab sekali dengan nama tersebut. Namun ia belum bisa mengingat dimana ia pernah mengenal nama tersebut.


© By Sa'idurrohman 2006

0 comments: