Episode ~ 3

Wednesday, March 21, 2007

Assalamu’alaikum.....blh knln g?

Isi sms yang masuk ke ponsel Adhit pagi ini dengan 3 panggilan tak terjawab.

“Siapa ya?” Adhit berpikir keras.

Nomor itu belum pernah ada di phone book sebelumnya. Anak – anak sekelas? Nggak mungkin. Nomor yang masuk ke ponselnya berkode area Jakarta. Oh, paling juga nomor nyasar. Adhit coba menerka – nerka.

Lima menit Adhit menunggu, namun tidak ada panggilan lagi di ponselnya. Tanpa menghiraukan sms itu lagi, Adhit bergegas menuju kamar mandi untuk pagi ini, pagi yang cerah untuk Adhit karena Adel mengajak Adhit untuk menonton konser nasyid di Gedung Nasional.

* * *

“Bang Tito napa sih? Kok Adel disuruh nemenin temennya ke konser nasyid. Kenapa nggak bang Tito aja. Adel pengen sendiri aja ke sana.”

“Afwan Del. Bukan gitu. Ntar abang ikutan dari belakang. Pokoknya Adel nggak usah khawatir, Tita nemenin Adel kok.”

“Dari belakang?” Adel heran.

“Ups...Abang bukan mo ngerjain Adel atau Adhit, tapi ini sebagian kecil dari misi Abang, OK. Please Del, bantu Abang. Abang temenan sama Adhit udah dua tahun ini, dan Abang pengen ada yang berubah pada diri Adhit.”

Adelia mengangguk juga akhirnya.

“Tapi, Bang Tito janji tetep ngikut dari belakang, ya. Adel takut.”

“Takut?” Tito tertawa girang. “Emangnya, Adhit manusia kanibal?”

“Hu....” Adelia melempar gulingnya ke arah Tito.

* * *

“Hallo...Benny?” tanya suara diseberang.

Benny berlari ke arah Toilet sambil tetap memegang raketnya.

“Sorry Dhit, ada apa? Gue lagi maen badminton nih di GOR Kota,” jawab Benny. “Lu mo ngajak gue kemana?”

“Cuih...Nggak lah. Gue mo jalan bareng Adelia.”

“Whats!!” Benny terlonjak dan hampir saja raket ditangannya terlepas dari genggaman. “Jalan?”

“Gue serius. Dan seriu....s banget. Gimana menurut lu?”

“Oh! Secepat itu? Lu pelet ya?”

“Pelet? Nggak lah. Yang pasti gue dah ngejalanin tips yang lu kasih waktu kita makan batagor kemaren lusa.”

“Hebat dong. Nggak sia – sia gue ngasih tu ide. Oya, lu mo jalan kemana?”

“Kurang tau juga? Tapi katanya mo ke konser apa,” suara dari seberang itu terdengar sedang berpikir. “Ya! Ke itu, konser nasib atau apaan lah. No, Problem sih menurut gue, yang penting untuk tahap awal gue bisa jalan sama Adelia.”

Klik. Hubungan terputus. Benny kembali menuju lapangan badminton.

* * *

Riuh suara takbir terdengar dari dalam Gedung Nasional, gedung pertemuan terbesar di kota Pangkalpinang. Adhit memarkir mobilnya di parkir timur.

“Oke, dah nyampe.” Adhit sedikit kesal setelah tahu Adel tidak pergi sendirian, namun bersama Tita, adiknya Tito.

“Dhit, antum nggak marahkan Ane ngajak Tita?” pinta Adel sebelum berangkat dari rumah.

Adhit tidak berkata apa – apa lagi, hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya ia begitu kesal, kenapa awal yang indah baginya harus dirusak oleh anak kecil berumur 10 tahun.

“Yuk, masuk ke dalam,” ajak Adelia. “Ane paling suka denger nasyid. Yang konser siang ini Izis dan Shousil. Adhit kenal?”

Adhit hanya menggeleng tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.

“Del, lu masuk duluan ma Tita ya. Gue cari makanan dulu.”

Adelia kemudian menuntun Tita masuk ke dalam Gedung. Adhit menghampiri penjual popcorn dan membeli 3 bungkus popcorn dan kemudian menyusul Adelia kedalam gedung. Namun, di depan pintu Adhit dicegat beberapa akhwat yang beridiri di situ.

“Afwan akh, kasetnya? Album pertama Shousil-23 lho. Itu yang hitsnya Senandung Hujan,” seorang akhwat menyodorkan kaset berlabel biru warna khas tim nasyid Shousil.

Adhit meraih kaset itu.

“Berapa mbak?” tanyanya sambil mengeluarkan selembar dua puluh ribuan.

“Tadinya sih dua puluh ribuan. Tapi, berhubung sekarang konsernya Shousil, kita kasih diskon deh. Lima belas ribu aja.”

Setelah mengambil kembalian dari akhwat yang menawarkan kaset, Adhit menyisipkan kaset tersebut ke dalam saku jeansnya dan berlalu dari tempat tersebut menuju tempat duduk kedua dari depan di bagian kiri, dimana Adelia dan Tita duduk. Kemudian Adhit duduk di kursi yang emang kosong disitu.

“Nih, buat Tita dan Adel” Adhit memberikan 1 bungkus popcorn ke Tita dan yang satu nya lagi pada Adelia. “Masih lama nggak?” tanyanya kemudian.

“Adhit mau balik?” Adel balik bertanya.

“Eh..nggak kok.”

Tit....tit...alunan Tak Bisakahnya Peterpan terdengar dibalik saku Adhit. Tangannya meraih ponsel yang ada didalam sakunya tersebut.

“Ha! Nomor yang tadi lagi,” katanya dalam hati.

Adhit menekan tombol answer namun panggilan tersebut terputus begitu saja.

“Siapa?” tanya Adel.

“Nggak. Nggak pa – pa. Cuma missed call doank.”

Namun otak Adhit berpikir keras. Sudah beberapa kali nomor itu masuk ke ponselnya, baik sekedar missed call ataupun sebuah sms yang isinya mengajak Adhit untuk berkenalan.

“Del, nih musik jenis apaan sih? Nggak pake alat musik, aneh banget,” seru Adhit saat melihat tim nasyid Shousil-23 tampil.

Adelia tersenyum dengan senyuman termanis yang pernah Adhit lihat.

“Ini yang namanya Acapella, sms,” jawab Adelia.

“SMS?”

“Suara Mulut Saja,” Adelia kemudian tertawa. “Adhit gimana sih. Kuper banget. Acapella itu jenis musik, tapi nggak pake alat musik alias ngandelin keharmonisan suara yang kadang – kadang hampir sama dengan suara alat musik. Coba Adhit dengar dengan seksama. Harmonis banget kan. Tim ini jauh – jauh datang dari Tangerang lho. Yah, Tour buat album perdana mereka. Kenapa milih Pangkalpinang? Soalnya salah satu dari personelnya asli anak Bangka. Tuh yang nomer dua dari kanan,” cerita Adelia.

Adelia menoleh ke kiri.

“Eh..” Adhit membuang muka. Wajahnya memerah karena ketahuan menatap Adelia.

Dada Adelia berdegup kencang saat tahu ternyata sedari tadi Adhit menatap dia lama.

“Bang Tito! Tolong dong,” teriak Adel dalam hati.

“Sorry Del,” akhirnya Adhit buka suara. “Gue nggak bermaksud nyuri.”

Adel hanya diam.

“Del, lu nggak marah kan sama gue. Maafin gue,” Adhit tampak menyesal.

Tit...tit.. sekali lagi ponsel Adhit berbunyi dan ketika Adhit berpikir bahwa yang meneleponnya adalah nomor yang memang dari pagi mengganggu pikirannya, ternyata tepat. Nomor misterius itu lagi. Adhit menjawab panggilan tersebut. Namun yang terdengar hanyalah sura gemerisik tanpa ada suara yang berkata halo, hai, ataupun salam.

* * *

Adhit merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, kemudian merogoh saku sebelah kanan jeansnya.

“Ya Ampun! Bego banget sih gue. Kenapa nih kaset nggak gue kasih ke Adel. Malah gue beli lagi kaset laen buat Adel pas pulang. Padahal gue dah beli nih kaset,” seru Adhit.

Adhit melempar kaset tersebut ke meja belajarnya, kemudian merogoh saku kiri jeansnya, mengambil ponsel.

Pikiran Adhit terus melayang, bertanya – tanya dalam hati siapa yang selama ini menerornya. Saat melihat ponselnya, ada 2 pesan diterima.

Assalamu’alaikum....

Kok sms aq g dbls? Blh kan aq knln ma kmu?

Nmq Astrie kmu sp?aq cw koq, g ush tkt.

Cm, aq pngn kmu bls sms aq

Nomor itu lagi. Namun, kali ini dengan sebuah pesan yang seolah – olah mengenalkan diri pada Adhit.

Adhit berpikir lagi, menerka – nerka apakah dia mempunyai teman cewek yang bernama Astrie, namun Adhit belum berniat untuk membalas sms tersebut.


© By Sa'idurrohman 2006


0 comments: