Allah SWT menganugerahi manusia dengan rasa cinta sebagai hikmah dan ujian. Naluri untuk mencintai akan selalu tumbuh dalam diri seseorang. Nantinya seperti apa, bergantung pada apa yang kita lakukan ketika menyikapi rasa cinta itu. Membawanya ke dunia nyata, memupuknya dengan ibadah, menyiramnya dengan rasa takwa, hingga berbunga dan mekar seindah bunga mawar, atau membawanya ke dunia semu yang bias, tanpa jelas apa yang akan kita tuai nantinya.
Adhit menutup catatan harian Tito yang kebetulan tampil di layar monitor komputer. Ketika Adhit datang, Tito lupa menutup diarynya hingga terbaca oleh Adhit.
Kre..k. Tiba – tiba pintu bergeser.
“Akhi, ntar sore jadi ke rumahnya Ihsan kan?” Tito masuk membawa talenan dengan dua piring kecil Blackforest dan dua coklat panas di atasnya tanpa sadar kalo Adhit baru saja membaca diarynya.
“Eh, eh, iya.” Buru – buru Adhit menutup aplikasi diarynya Tito.
“Napa akh?”
“Nggak. Oya, lu dah beli kado belum?” tanya Adhit mengalihkan perhatian.
“Belum sih, cuman kemaren ane dah beli buku ini,” Tito mengeluarkan sebuah buku bercover biru dari dalam tasnya.
“Diary pengantin?” Adhit mendesis.
Adhit diam sejenak.
“To, kok Ihsan mau ya nikah di usia muda? Kan banyak resikonya. Apalagi belum kenal lama sama calon istrinya,” tanya Adhit.
Tito menghela nafas.
“Akhi, nikah itu sunnah rasul sekaligus juga bernilai ibadah. Kalo udah mampu, kenapa harus ditunda – tunda? Dari pada ntar zina.”
“Ehm. Iya juga sih. Tapi, Ihsan kan baru semester dua. Calonnya aja masih SMA. Nggak takut fitnah?”
“Justru hal ini untuk menghindari fitnah.”
“Bukan. Maksud gue, ntar banyak yang beranggapan macam – macam. Sekarang kan banyak yang nikah dini gara – gara MBA alias kecolongan duluan. Kalo ada yang kayak gitu gimana?”
“Yah. Terserah pandangan orangnya. Berhusnuzhon khan lebih baek. Kalo emang ada yang seperti itu, mudah – mudah Allah membuka pintu hati mereka.”
Adhit diam merenungkan kata – kata sobatnya itu.
“Ok, dah siap belum. Kita mau kemana cari kadonya?” tanya Tito kemudian.
“Ke Lie Cheng aja?” jawab Adhit sekenanya.
“Hah?!” Tito bingung.
“Ha..ha..ha..,” Adhit tertawa lebar. “Becanda, To. Tapi nggak masalah juga kan ngasih kado obat kuat buat pengantin baru.”
“Astaghfirullah. Ada – ada aja.” Tito mesem – mesem.
Adhit dan Tito sudah tiba di butik Mas Eddy, langganan ibunya Adhit, tak jauh dari BTC, mal terbesar di Pangkalpinang. Adhit memilih satu setel baju koko atau lebih ngetop dengan nama Teluk Belango. Sebuah sajadah, dan sandal seukuran kakinya, karena Adhit yakin kalo ukuran kakinya dan kaki Ihsan tak jauh beda.
“Buat siapa, Dhit?” tanya mas Eddy melihat Adhit yang jarang sekali belanja perlengkapan muslim karena hapal betul seleranya.
“Kado buat temen, Mas. Nikah hari ini.”
“O..kirain buat Adhit sendiri. Kan, jarang banget Adhit belanja baju koko. Bahkan menurut mas malah nggak pernah.”
“He..he...he.. Mas Eddy tau aja.” Adhit tersenyum lebar. “Sekalian di bungkusin deh mas.
Setelah membayar dengan kartu debit Bank Sumselnya, Adhit dan Tito meninggalkan butik mas Eddy menuju kediaman orang tuanya Ayu, calon mertua Ihsan.
Sekitar sepuluh menit, akhirnya mereka berdua tiba di Masjid An’Nur, tempat akad nikah Ihsan dan Ayu dilaksanakan, setelah ditelepon oleh Fariz bahwa rombongan calon pengantin dah menuju tempat akad.
Suasana disana lumayan ramai. Keluarga kedua calon mempelai, teman – teman Ihsan satu fakultas, teman – teman Ayu yang lumayan bikin Fais dan Adhit lupa dengan komitmen Ghadul Basharnya, juga Mas Hudha murobbi Adhit cs bersama istrinya.
“To, itu istrinya Mas Hudha?” tanya Adhit sambil menunjuk ke arah wanita yang sedang digandeng murobbinya itu.
“Ya,” jawab Tito pendek.
“Wah, cantik banget. Pengen deh punya istri kayak gitu. Adel mau nggak ya.”
“Mulai ngelantur deh.”
Akad nikah berlangsung khidmat. Ayu menangis bahagia, begitu juga dengan teman – teman yang hadir. Banyak yang meneteskan air mata menahan haru ketika Ayu bersimpuh di kaki kedua orang tuanya, diikuti Ihsan yang disambut dengan pelukan dan tatapan ayah mertuanya seolah meminta Ihsan untuk membimbing putrinya menjadi istri yang shalehah.
Berganti Ihsan yang bersimpuh di kaki Ibunya. Air mata wanita tua itu tak terbendung melihat anak laki – lakinya semata wayang akan menapaki jalan baru, hidup bersama pendampingnya yang Insya Allah akan menjadi bidadari bagi anaknya di dunia dan di surga nanti. Makin haru ketika Ihsan memeluk Ibunda tercinta, memeluk orang tua yang gigih berjuang menghidupi keluarganya setelah suaminya, ayah Ihsan harus meninggal ketika almarhum sersan bintang tiga itu dikirim ke daerah konflik, Poso.
Tiba giliran undangan menyalami kedua mempelai. Tito memeluk erat sahabat yang telah membimbingnya ke jalan terang, mengajaknya untuk mengenal lebih dekat apa itu Islam. Adhit, Fais, Fariz, Koko, dan Mas Hudah tak lupa mengucapkan selamat dan berdoa untuk Ihsan dan Ayu agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
* * *
Adhit merebahkan tabuhnya di atas kasur. Menyalakan handphone yang dimatikannya sejak tiba di masjid An-Nur tadi sore.
Tiit..tiit..tii.. Satu buah pesam masuk ke hapenya.
Ass.
Adhit, ni astrie. Afwan ganggu trs ya.
Antrie cm pngn knln koq.
Oea, pkn dpn Oma pndh k Rmh bru.
Seklian ulang tahun, mo sykran ktnya.
Adhit dtng ya...